Beranda | Artikel
Bagaimana Kaum Muslimin Menyikapi Praktik Syariat Islam
Senin, 7 November 2022

BAGAIMANA SEHARUSNYA KAUM MUSLIMIN MENYIKAPI PRAKTEK SYARIAT ISLAM?

Oleh
Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan

Sebelum menjelaskan sikap kaum Muslimin terhadap praktik syari’at Islam, perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan praktik atau penerapan syari’at.

Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, relevan dengan setiap zaman dan tempat, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin untuk masuk kedalam Islam secara kaffah, yaitu secara menyeluruh, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً

Wahai orang orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara kaffah (menyeluruh). [al-Baqarah/2:208]

Maksudnya, Allâh Azza wa Jalla menyuruh para hamba-Nya yang beriman dan yang membenarkan rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran dan syari’at Islam, melaksanakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan kemampuan mereka.[1]

Jadi penerapan syari’at Islam mencakup perkara aqidah, ibadah, akhlak, dakwah, politik (tatanan Negara), amar ma’ruf nahi munkar dan yang lainnya.

Dalam perkara aqidah, maka wajiblah mereka mengikuti akidah yang sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik dalam tauhid Rubûbiyah, tauhid Ulûhiyyah dan tauhid Asmâ‘ dan Sifât serta seluruh prinsip prinsip akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang lain.

Dalam tauhid Uluhiyyah (ibadah), maka wajib bagi setiap Muslim untuk beribadah kepada Allâh dan mengikhlaskan seluruh ibadah kepada-Nya, bersih dari kesyirikan, baik syirik besar atau kecil. Bahkan ini adalah inti ajaran Islam dan pondasinya yang kokoh yang akan dibangun diatasnya seluruh syari’at Islam. Sehingga, sungguh sangat aneh dan mengherankan, bila ada diantara kaum Muslimin menuntut penerapan syari’at Islam dalam perkara harta dan jiwa serta pengadilan, namun mereka membiarkan orang-orang yang memiliki  akidah yang sesat dan batil, atau pelaku kesyirikan dibiarkan dengan keyakinan dan ritual mereka masing masing tanpa dituntut untuk kembali kepada akidah yang benar dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla . Bukankah urusan keimanan dan akidah lebih penting dari pada urusan harta dan jiwa ?

Dalam tauhid Asma’ dan Sifat maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi akidah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya diberi tindakan hukum, seperti sekte Jahmiyah, Mu’tazilah, Asya’irah, Maturidiyah, Khawarij dan Murji’ah. Kesesatan dan kebatilan akidah mereka harus dijelaskan, tidak boleh dibiarkan bebas menebarkan kebatilan tersebut. Keyakinan mereka wajib dihukumi dengan akidah yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Dalam perkara ibadah, maka yang menjadi landasan beribadah adalah al-Qur’an dan sunnah, bukan ibadah-ibadah yang bid’ah. Barangsiapa melakukan amalan-amalan yang baru dan bid’ah maka wajib dijelaskan kebatilan dan kesesatannya, karena amalan yang bid’ah tersebut bukan dari syari’at Islam, sebagaimana sabada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada landasannya dari perintah kami maka ditolak (tidak diterima). [HR. Bukhari dan Muslim]

Jadi penerapan syari’at Islam dalam perkara ibadah itu juga wajib. Apabila ibadah sudah dijalankan sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah maka itu adalah ibadah yang shahih dan diterima, jika tidak maka ia adalah ibadah yang salah dan batil, dan perkara ini tidak boleh diremekan sama sekali.

Dalam perkara akhlak, maka yang menjadi standar adalah akhlak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tertera dalam al-Qur’an dan sunnah.

Dalam masalah amar ma’ruf nahi munkar dan dakwah maka kaum Muslimin wajib diperintahkan agar melakukan kebaikan dan mengingkari kejahatan dan maksiat yang berkembang di tengah masyarakat. Para pelaku kemungkaran dan maksiat tidak boleh dibiarkan berbuat sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ رَأى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أضْعَفُ الإيمَانِ

Apabila salah seorang kalian melihat kemungkaran maka inkarilah dengan tangan, jika tidak dengan lisan, jika tidak dengan hati, dan itulah keimanan yang paling lemah”. [HR. Muslim, no. 78]

Pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar dan berdakwah harus mengikuti manhaj para nabi dan rasul dan para salafus sholeh, karena itulah manhaj yang benar dan metoda yang bijak dalam mengajak kepada Islam dan mengembalikan kejayaannya. Bukan dengan manhaj-manhaj bid’ah yang menyelisihi hukum Allâh dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak muncul di zaman sekarang ini.

Suatu yang sangat disayangkan jika ada yang menyeru untuk penerapan syari’at Islam, akan tetapi jalan yang ditempuh bukan jalan yang sesuai dengan syari’at Islam. Mungkinkah syari’at di tegakkan dengan cara yang tidak sesuai dengan syari’at Islam ?

Dalam politik dan tatanan negara, hendaklah yang menjadi standar hukum dan landasan perundang-undangan adalah syari’at Allâh Azza wa Jalla , bukan pemikiran manusia. Oleh karena itu, wajib bagi para penguasa untuk menerapkan hukum Allâh Azza wa Jalla (syari’at Islam) dan juga mereka berkewajiban untuk mewajibkan para rakyatnya untuk berhukum dengan hukum Allâh dan Rasul-Nya. Inilah tugas dan tanggug jawab penguasa yang paling utama dan besar.

Itulah penjelasan secara global tentang hakekat praktik syari’at Islam, jadi bukan dalam perkara menegakkan hukum pidana dalam masalah harta dan jiwa saja.

Bagaimanakah Sikap Kaum Muslimin Terhadap Praktik Syari’at Islam Tersebut?
Sebagaimana yang dimaklumi bahwa kita diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk beribadah kepada-Nya dengan melakukan seluruh perkataan dan amalan yang dicintai dan diridhai oleh Allâh Azza wa Jalla , baik perkataan dan amalan yang lahir atau batin. Inilah hakikat syahadat “Lâ Ilaha Illallah” dan konsekuensi dari keimanan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

Ubûdiyah (penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla) menuntut ketundukan yang sempurna kepada Allâh dalam segala aspek agama, baik dalam perintah dan larangan, aqidah, perkataan dan amalan; Dia menghalalkan apa yang dihalalkan Allâh Azza wa Jalla dan mengharamkan apa yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla .

Secara global bisa disimpulkan sikap kaum Muslimin terhadap praktik syari’at Islam sebagai berikut :

Pertama: Para penguasa atau pemimpin kaum Muslimin berkewajiban untuk menerapkan hukum Allâh Azza wa Jalla dan menjadikannya sebagai sumber perundang-undangan dan landasan hukum, sebagaiman firman Allâh Azza wa Jalla :

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

 Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allâh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [an-Nisa’/4:58]

Ini adalah perintah bagi para penguasa yang diberi amanah dan tanggung jawab. Mereka wajib memutuskan perkara diantara manusia dengan adil sesuai dengan syari’at Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ اَنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ ۗوَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ لَفٰسِقُوْنَ٤٩اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allâh kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allâh), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allâh bagi orang-orang yang yakin ? [al-Maidah/5:49-50]

Ayat diatas megandung perintah dan seruan untuk menerapkan hukum Allâh (syari’at Islam), yang ditegaskan oleh Allâh dalam delapan poin[2]:

  1. Perintah untuk berkukum dengan hukum Allâh, yang terkandung dalam firman-Nya :

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh“.

  1. Larangan mengikuti hawa nafsu dan keinginan manusia, dan jangan sampai hal itu menghalangi seseorang dari menegakkan hukum Allâh. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka

  1. Peringatan keras dari meninggalkan hukum Allâh dalam segala perkara, baik kecil atau besar dan sedikit atau banyak :

وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allâh kepadamu.

  1. Perpaling dari hukum Allâh Azza wa Jalla dan tidak menerima sesuatu darinya adalah perbuatan dosa besar yang menyebabkan turunnya azab yang sangat pedih dari Allâh :

فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ

Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allâh), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh menghendaki menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka.

  1. Peringatan agar tidak tertipu dengan banyaknya orang orang yang berpaling dari hukum Allâh Azza wa Jalla , karena hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla yang bisa bersyukur itu minoritas, sementara mayoritas manusia itu fasik.

وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.

  1. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa berhukum dengan selain hukum Allâh berarti berhukum dengan hukum Jahiliyah.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka inginkan

  1. Hukum Allâh Azza wa Jalla adalah hukum yang terbaik dan paling adil,

وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada Allâh, bagi kaum yang menyakini.

  1. Kensekuensi dari keyakinan tersebut adalah mengetahui bahwa hukum Allâh adalah hukum yang paling sempurna dan paling adil, jika halnya demikian maka wajib untuk ridha dan pasrah terhadap hukum Allâh Azza wa Jalla .

وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada Allâh, bagi kaum yang menyakini.

Kedua : Sikap Masyarakat Terhadap Praktik Syari’at
Sikap kaum Muslimin terhadap penerapkan syari’at bisa simpulkan pada poin berikut :

  1. Menta’ati Allâh dan Rasul-Nya dalam penerapan syari’at tersebut, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا ﴿٦٠﴾ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا

 Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allâh telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu [an-Nisâ’/4:59-61]

  1. Mencintai Penerapan Syari’at Islam. Merupakan kewajiban setiap Muslim setelah ia mengetahui hokum-hukum agama adalah mencintainya. Karena mencintai seluruh yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya adalah konsekuensi dari keimanan kepada Allâh dan Rasul-Nya. Tanpa ragu kita mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla mencintai praktik syari’at sehingga Dia memerintahkan untuk diterapkan di permukaan bumi, bahkan kecintaan adalah faktor utama yang bisa mendorong untuk menerapkan syari’at tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh sebagian Ulama, “Kecintaan kepada Allâh dan rasul-Nya adalah kewajiban keimanan yang paling agung. Dia adalah landasan keimanan yang paling kokoh dan kaedahnya yang paling mulia/utama, bahkan ia adalah asal setiap amalan keimanan dan agama. Sebagaimana keyakinan kepadanya asal setiap perkatan keimanan dan agama, maka sesungguhnya sertiap gerak gerik yang ada hanya muncul/bersumber dari kecintaan, baik dari kecintan yang terpuji atau kecintaan yang tercela, ..maka seluruh amalan keimanan dan keagamaan tidaklah muncul kecuali dari kecintaan yang terpuji, dan asal setiap kecintaan yang terpuji adalah kecintaan kepada Allâh Ta’ala, karena amalan yang muncul dari kecintaan yang tercela tidaklah dihukumi sebagai amal sholeh disisi Allâh, bahkan seluruh amalan keimanan dan agama tidaklah muncul kecuali dari kecintaan kepada Allâh[3]
  2. Ridha dan pasrah terhadap praktik syari’at Islam, tanpa ada rasa keberatan sedikitpun didalam hati terhadapnya. Karena keiman seseorang tidak akan sempurna kecuali bila ia menerima hukum Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan pasrah kepadanya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisa/4:65]

Imam az Zuhri rahimahullah berkata:

مِنَ اللهِ الرِّسَالَةُ، وَعَلَى الرَّسُوْلِ الْبَلاَغُ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيْمُ

Dari Allâh datangnya risalah (syari’at), tugas Rasul menyampaikan dan kewajiban kita pasrah (terhadap syari’at).[4]

Imam Ath Thahawi rahimahullah berkata, “Tidaklah kokoh berdirinya Islam kecuali di atas landasan/pondasi pasrah dan berserah diri[5]. Maksudnya tidaklah kokoh Islam seseorang yang tidak berserah diri kepada wahyu (al-Qur’an dan sunnah) dan tunduk kepadanya, serta tidak menentangnya dengan pemikiran, logika dan analogi (qiyas)[6].

  1. Saling tolong menolong dalam mempraktikan syari’at Islam. Sikap ini sesuai dengan prinsip dasar agama yang memerintahkan untuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, sebagaimana firman Allâh :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan kejahatan. [al-Maidah/5:2]

Dan tidak diragukan bahwa praktik syari’at adalah kebaikan semata dan akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan kepada kaum Muslimin, sedangkan meninggalkannya adalah sumber kejahatan, kesengsaraan dan petaka.

Oleh karena itu seluruh kaum Muslimin dituntut untuk mendukung usaha mengaplikasikan penerapan syari’at di daerah mereka masing-masing, sebagai bukti keta’atan kepada Allâh dan Rasul-Nya serta kecintaan kepada agama yang mulia ini, dan sebagai bentuk tolong menolong dalam kebaikkan dan taqwa.

Hendaknya kaum muslimin merasa bangga dengan adanya sebagian daerah yang telah mencanangkan penerapan syari’at Islam, kendati masih belum teraplikasi secara sempurna, dan masih ada kekurangan dalam aspek, akan tetapi secara prinsip mereka telah berusaha untuk mengaplikasikan tuntutan akidah tauhid yang wajib atas setiap individu muslim.

Bagi mereka yang belum teraplikasi syari’at Islam di daerahnya, maka hendaklah berusaha sesuai dengan kemampuan mereka untuk melakukan langka langka positip dan usaha usaha yang efektif untuk terwujudnya tujuan yang mulia tersebut.

Jika tidak ada sama sekali penguasa yang menerapkan syari’at Islam, maka hal ini bukan bearti menghalang kaum muslimin untuk mempraktikan Islam secara individual dalam keluarga dan masyarakatnya dalam skop yang sempit, karena penerpan syari’at sebagaimana yang diutarakan diatas bukan sekedar penegakan hukum pidana saja, akan tetapi mencakup perkara akidah, ibadah, akhlak dan yang lain lain.

Semoga Allâh Ta’ala membimbing para penguasa kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin untuk mempraktikkan syari’at Islam dibumi nusantara ini, sebagai bukti keimanan kepada Allâh Ta’ala dan Rasul-Nya serta kecintaan kepada agama yang mulia ini.

Wallahu muwaffiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat : “Tafsir Ibnu Katsir“.
[2] Lihat Wujûb Tahkîm Syar’illlah, Syaikh Ibnu Baaz, hlm. 31-32 (dicetak bersamaan dengan risalah Tahkîmul Qawânîn.
[3] Majmu’ Fatâwâ  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 10/48-49.
[4] Khalqu Af’âlil ‘Ibâd, Imam al-Bukhari (hlm: 76).
[5] al Aqîdah ath Thahawiyah bersama Syarah Ibnu Abil’iz (hlm. 201).
[6] Lihat Syarhul aqidah ath Thahawiyah (hlm. 201).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/64529-bagaimana-kaum-muslimin-menyikapi-praktik-syariat-islam.html